Rabu, 18 Desember 2019

MEREKA DISEBUT "PELA" - PENUMPANG ILEGAL


PT. Pelni menyebutnya penumpang ilegal, tapi di Biak - Papua, mereka disebut “Pelarian” disingkat "Pela". Bagi saya, tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakan istilah “Pelarian” kepada para penumpang yang naik kapal laut tanpa tiket. Juga tidak jelas, manusia siapa yang memulainya lebih dahulu. Yang pasti di setiap pelayaran kapal laut, selalu saja ada pela.

Mereka ini semua tidak akan membayar tiket kapal


Jika acuannya musim “berangkat”, pela tidak mengenal waktu. Hanya intesitasnya saja yang turun naik. Dengan meminjam waktu dari dunia sekolah atau kuliah, kita bisa melihat. Kalau masanya bukan liburan, jumlah pela cenderung kecil. Tapi jangan tanya kalau musim liburan tiba, jumlah mereka bisa berlipat ganda. Siapa sebenarnya para penumpang ilegal? Apa, mengapa, di mana dan bagaimana mereka bisa memilih naik kapal tanpa tiket? Mungkin catatan kecil ini bisa sedikit memberi gambaran.

Napi, barang apa yang di botol plastik itu?

Kapal laut merupakan sarana transportasi yang populer di tempat kita. Dibandingkan dengan pesawat udara, biaya perjalanan dengan kapal laut tergolong lebih murah. Tapi ongkos perjalanan yang murah tidak menjamin semua penumpangnya naik dengan tiket di tangan. Selama hampir sepuluh tahun saya menggunakan sarana transportasi ini, selalu saya temukan ada penumpang ilegal atau yang saya sebut pela tadi. Apalagi menjelang libur natal seperti sekarang ini.

Mereka sebagian besar adalah orang-orang muda, entah itu pelajar, mahasiswa, pengangguran bahkan “anggota”. Pela juga tidak kenal isu gender, sebab laki-laki atau perempuan sama nekatnya. Jarang saya melihat ada “orang tua” yang pela, tentunya mereka bukan “ja-im” (jaga image) tapi karena patuh pada aturan. Bandingkan dengan anak-anak muda yang cenderung “semau-maunya”.


Pace yang pakai rompi kuning ini anak Yenures, Biak

Ketika ditanya, mengapa mereka memilih tidak beli tiket, macam-macam jawaban bisa kita peroleh. Ada yang mengaku tidak punya uang, ada yang ikut-ikutan karena teman, ada juga yang bilang lupa beli, uang tiket jatuh atau dicopet. Tapi simak alasan seperti ini; “Pelni tidak akan rugi, toh yang tidak beli tiket cuma sedikit orang.” Atau ada yang bilang untuk apa beli tiket, naik kapal juga tidak dapat tempat tidur, buat apa bayar mahal-mahal (nah, loh..). Tapi yang luar biasa, tentu yang bilang begini, “Saya sejak dulu naik kapal tidak pernah beli tiket, sudah kebiasaan!” Jadi yang namanya melanggar aturan, dalihnya bisa macam-macam. Ada banyak lagi alasan yang bisa kita dengar, tapi saya kira yang di atas tadi sudah bisa bikin anda geleng-geleng kepala tanda mengerti. Nah, untuk menemukan mereka tidak susah, tunggu saja sampai waktu pemeriksaan tiket, semuanya akan berkumpul di dek nomor sembilan, di bawah cerobong asap, dekat sekoci. Kok bisa naik sampai ke sana? Jangan ditanyalah.


Seperti disinggung pada bagian awal, pada masa bukan liburan, jumlah pela cenderung sedikit, tapi coba lihat pada masa liburan seperti sekarang. Puncaknya akan terlihat pada saat “Kapal Terakhir”. Jumlah penumpang ilegal bisa lebih dari tiga ratus orang seperti yang saya lihat dalam tiga tahun terakhir ini.

Kemudian saat dalam perjalanan, pela selalu punya aktivitas sendiri yang berbeda dengan penumpang lain. Catat saja, konsumsi miras, corat-coret kapal, berjoget ria, panjat-panjat ke menara anjungan, menyanyi nonstop bahkan ada yang nekat mencuri peralatan safety (pelampung misalnya). Mereka tidak pernah pikir kabin yang nyaman, sadar bahwa mereka naik kapal dengan melanggar aturan, yang terpenting adalah bagaimana bisa bertahan hingga tiba di tujuan. Dan pela terbanyak selalu akan turun di pelabuhan transit pertama; dalam kasus saya, pelabuhan Biak dan Serui.



Terus waktu pemeriksaan tiket bagaimana? Pela-pela ini santai saja, sebab toh mereka akan diperiksa paling akhir. Waktu tiba giliran mereka, tim pemeriksa tiket tinggal menyodorkan kantong plastik, berapa yang ada di saku mereka tinggal “disumbangkan”, tidak lupa bilang terima kasih. Jumlahnya bervariasi tapi kadang yang paling besar nilainya cuma lima belas ribu rupiah. Kalau ada yang bayar dua puluh ribu ke atas, anaknya perlu dicek, barangkali itu debutnya sebagai pela atau karena takut dimarahi petugas. Pernah dalam satu kali pemeriksaan tiket, ada petugas yang bilang, “Memangnya ko kira ko naik ojek kah?”, sebab salah satu pela cuma setor dua ribu rupiah.



Pela-pela ini jelas  melanggar aturan. Padahal semua penumpang kapal wajib membeli tiket. Dengan membeli tiket, hak-hak sebagai penumpang kapal terjamin; apalagi kalau isunya sudah bicara ke arah musibah di laut. Kita juga tak bisa menutup mata, penumpang ilegal ini jelas suatu fenomena negatif dalam dunia jasa transportasi laut kita. Apakah ada solusi yang bisa dicari untuk menyelesaikannya atau sanksi bagi mereka? Kalau sudah bicara terobosan baru atau sanksi, itu bukan minat dan maksud saya menulis. Sebab dua tahun lalu, tahun lalu bahkan tahun ini saya juga (rencana) pela.

Padang Bulan, December 18, 2008

Dicky Man
Seorang PELA

(Telah diubah seperlunya), tulisan asli ada pada 
https://web.facebook.com/notes/menufandu-dicky/mereka-disebut-pela/113607110198/
Seluruh gambar adalah dokumentasi/koleksi pribadi

Minggu, 29 September 2019

ASRAMAKU, IBU YANG MEMBISU

Asrama Mahasiswa Biak Numfor, koleksi dari tahun 2006













Ibarat seorang ibu yang membisu; meskipun ia telah berhasil menjaga dan membesarkan banyak anak namun ia sekalipun tidak akan pernah pergi ke pintu rumah anak-anaknya untuk menagih kasih yang telah ia beri. Ia hanya akan duduk diam dan menanti, kalau mereka ingat padanya, ia masih di sana.


Begitulah wejangan tentang asrama yang diturunkan seorang senior kepada saya dan teman-teman lainnya beberapa tahun silam, ketika kami mendiami salah satu asrama pelajar dan mahasiswa di Padang Bulan - Jayapura. 

Asrama Mahasiswa Biak Numfor adalah milik pemerintah kabupaten Biak Numfor, biasa disebut Asrama Biak, dan kami menyebutnya Asbik. Hingga generasi kami, hanya sedikit orang yang tahu kapan tepatnya asrama ini berdiri. Namun konon, Asbik berdiri di tahun 1970-an pada masa pemerintahan Bupati Hendrik (Wiradinata). Saya tentu belum lahir. Sering kali juga kami bilang, asrama ini sudah ada sejak zaman Almarhum Arnold Ap jadi mahasiswa - mungkin untuk memberi gambaran betapa sudah tuanya umur Asbik. Dari mulut ke mulut, skobo (kata orang) Asbik adalah asrama paling hebat yang ada di Padang Bulan dan merupakan simbol kemajuan orang Byak saat itu.

Waktu terus berjalan, hingga ke generasi kami, Asbik masih ada. Ia tertegun melihat ada banyak sesama asrama di sekitarnya. Ada yang sederhana sama seperti dia dan tentu saja ada yang lebih megah. Mereka punya tugas sama; menjaga, melindungi dan membesarkan anak-anak manusia yang datang untuk menuntut ilmu. Hingga akhirnya anak-anak ini selesai, Asbik tentu turut bangga. Jika ia seorang manusia, sukacita apa yang akan ia bilang?

Antri, Hendrik Kafiar  (biru) - sekarang Pendeta, paling depan; Abner Penjaga Pintu Apotik Agung Biak (baju hitam); dalam waktu-waktu tertentu, sering datang dari Biak dan tinggal bersama kami 






Asbik, seperti kebanyakan asrama mahasiswa adalah simbol kesederhanaan. Yang saya maksud tentu bukan asrama pendidikan yang disiplin dan semi militer. Kebanyakan orang ketika mendengar kata “asrama”, memiliki gambaran tentang kesederhanaan bahkan kekurangan.  Para penghuninya tidak punya banyak beras, sabun mandi dipakai bergantian, tidak lupa baku pinjam baju kalau akan pergi kuliah. Mereka juga bukan anak pejabat atau orang kaya. Vader saya cuma PNS golongan tiga, masih untung. Coba lihat di sebelah saya, mereka anak-anak kuli, petani, nelayan bahkan mama penjual pinang.

Karena citra asrama digambarkan seperti itu maka ada beberapa mahasiswa yang enggan tinggal di asrama. Seperti yang pernah saya dengar, mereka tidak mau sendalnya dipinjam, gulanya cepat habis, dan lebih-lebih pakaiannya dipakai anak lain. Tapi saya kira alasan yang paling masuk akal adalah mereka mampu mengontrak rumah atau sewa kost. Dari sisi ekonomi mereka mampu untuk tidak tinggal di asrama.

Mansinam Grup kala diurus Herry Ayer (Batik Biru, anak Yendidori); selalu menerima panggilan untuk Live - kala itu Desember 2008; Natal Asrama




Saya sendiri tak pernah berpikir akan menjadi anak asrama. Waktu memutuskan untuk tinggal di Asbik, itu dikarenakan saya tidak mampu bayar uang kost. Kuliah saya berantakan dan orang tua saya tidak lagi rutin "mengirimi" saya tiap awal bulan. Tapi saya selalu percaya, Tuhan menulis takdir saya untuk harus tinggal dan akhirnya menyelesaikan studi di asrama, di Asbik. Dan ketika saya tinggal di situ, hal-hal yang saya sebutkan tadi terjadi. Lapar dan haus - yang berbeda dari biasanya, hidup dalam kesederhanaan, hingga minta meminta dari satu kamar ke kamar lain bukan hal yang aneh. Kekurangan materi bagi kami, adalah sahabat yang harus dimiliki, bukan sesuatu yang harus disesali.

Tahun ke tahun tinggal di bawah naungannya, saya dan teman-teman belajar banyak hal. Pertama, tentu kami harus menjaga sang Ibu yang siang malam melindungi kepala kami dari panas dan hujan. Jangan pernah merusak satupun bagian tubuhnya. Atau membiarkan orang lain merusaknya. Bukankah durhaka terhadap orang tua dosanya sangat besar? Lagi pula pengalaman sudah membuktikan bahwa orang kuat yang suka merusak fasilitas asrama, selalu hidup bermasalah dan tanpa masa depan, sering kali gagal studi dan beberapa di antaranya sudah “pergi”. 

Dapur Legendaris; tempat kami semua berkumpul dan tukar pikiran - yang makan di tempat rice cooker itu namanya Nehemia Baransano, sekarang Guru di SD Napisndi, Supiori  Barat


















Ke-dua, hidup dalam kekurangan akan mengajarkan kami untuk - suatu ketika jika sukses - kami tetap ingat dari mana kami berasal dan siapa yang membesarkan kami. Kami hidup dalam kebersamaan di mana tolong menolong adalah sesuatu untuk dilakukan, bukan didiskusikan. Ke-tiga yang saya kira selalu ada di setiap asrama adalah hubungan kakak adik yang begitu kuat. Tidak peduli saya, kamu dan dia fam apa, semua penghuni asrama adalah bersaudara. 

Tak heran jika hubungan emosional antara satu anak dengan anak yang lain begitu baik terjaga. Mereka yang tua bertindak sebagai kakak untuk melindungi penghuni yang lebih muda. Dan sebagai penghuni yang muda, sang adik dapat belajar dari pengalaman sang kakak. Hingga kelak kami bertemu di mana saja, di luar asrama, tegur sapa yang akrab, cerita tentang masa lalu ketika hidup di asrama akan selalu diputar ulang. Dalam kesemuanya itu masih ada ajaran sang Ibu untuk hidup selalu jujur dan tidak skakar; kami dibuat menanggalkan kepentingan diri sendiri dan mengutamakan kebersamaan.

Natal Asrama, Tahun 2006; semua senyum karena sebentar lagi mau mudik ke Biak


















Lalu, berapa banyak anak yang sudah Asbik jaga dan besarkan? Oh, sudah sangat banyak; tidak terhitung karena memang tidak ada yang menghitungnya. Kalau Asbik sudah ada sejak zaman (Alm.) Arnold Ap, bisa dibayangkan saja sudah berapa banyak alumninya. Dan yang juga membanggakan, ada banyak dari mereka yang "jadi orang". Tete John Rumbiak adalah orang yang paling sering diceritakan kepada kami. Tapi itu masa lalu. Sangat bijak kalau kami bisa mendengar cerita-cerita itu untuk bekal langkah kami ke depan. Apalagi sejarah mengajarkan bahwa meski Asbik menjaga dan membesarkan anak-anaknya dalam kesederhanaan dan kekurangan, tapi anak-anaknya bisa jadi sangat besar.

Kemudian ada fakta lain yang bikin kami selalu bangga. Demikian kata senior saya, Frans Rejauw, anak Benggor; yaitu di setiap wisuda baik Universitas Cenderawasih maupun kampus lain, meski tidak banyak, selalu ada satu atau dua anak Asbik yang menyelesaikan studi. Tahun lalu di bulan September tanggal tiga puluh, di Auditorium Uncen yang megah itu ada sepuluh anak Asbik yang diwisuda. Itu jumlah terbanyak untuk sekali wisuda dalam sejarah Asbik. Rekor sepuluh anak itu termasuk saya adalah tiga sarjana dan tujuh diploma.

Sejarah dan rekor itu, 3 Sarjana dan 7 Diploma - ketika baliho dari kain dan kertas asturo masih berjaya

Saya yang dalam acara syukuran diminta membawakan sambutan punya banyak kesan dan pesan. Tetapi tidak semua mampu saya sampaikan. Saya yang gampang terbawa emosi hanya bisa berbicara beberapa kata. Demam panggung? Tidak. Saya bukan anak kemarin sore yang baru tampil di depan banyak orang. Tapi ketika saya mulai berbicara, kembali terbayang betapa panjangnya perjalanan yang harus saya tempuh sampai bisa tiba di hari itu. 

Dalam sambutan itu, ketika saya bilang,”Kami tidak akan pernah menukar asrama ini dengan istana manapun. Sebab bangunan yang megah belum tentu akan menjadi rumah bagi orang di dalamnya. Di sinilah kami tinggal, inilah rumah kami!” Mereka yang hadir diam dan di saat itulah saya meneteskan air mata. Saya begitu terharu ketika melihat Sang Ibu yang membisu, malam itu seolah-olah tersenyum begitu bahagia karena sepuluh anak yang ia lindungi bertahun-tahun, akhirnya menyelesaikan studi. Dia diam, menatap pada saya, lalu sekilas berlalu tanpa saya sadari. Ah ibu! Kami sangat bangga padamu! Terima kasih!

Maret 2010

Dicky Menufandu dikenal sebagai Boss Dicky
Sim Mirawi Unit Wambeso-Asbik,
Asrama Mahasiswa Biak Numfor - Padang Bulan, Jayapura
(Telah diubah seperlunya), tulisan asli ada pada 
https://web.facebook.com/notes/menufandu-dicky/asramaku-ibu-yang-membisu/421401190198/



Kamis, 16 Mei 2019

CORETLAH SESUKAMU

Ketika seorang perempuan meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal, Yudas membuat sebuah pernyataan yang diamini banyak orang, mengapa minyak wangi itu harus dihabiskan ke kaki Yesus; bukankah lebih baik minyak itu dijual lalu uangnya diberikan kepada orang miskin? Apa jawab perempuan itu?

Dalam tulisan saya yang lain dengan judul “Kemeja Penuh Warna”, saya menceritakan hingar bingar perayaan kelulusan ketika saya dan kawan-kawan saya tamat dari SMU Negeri 1 Biak Kota. Peristiwa itu terjadi dua puluh tahun lalu, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 1999. Suatu momen di mana kami memiliki hari untuk merayakan pernyataan kelulusan sebagai anak sekolah menengah lanjutan atas sesuka hati kami. Sudah dua puluh tahun, tetapi berkat tulisan itu, dan juga ingatan saya, rentetan peristiwa mulai dari pagi hingga sore itu masih terekam baik.

Beberapa hari lalu - Senin, 13 Mei 2019; anak-anak sekolah tingkat SMA sederajat juga melalui momen yang sama, mendengar pengumuman lulus lalu merayakannya dengan cara yang kurang lebih sama dengan tradisi tahunan, mencorat-coret seragam sekolah. Beberapa di antaranya mungkin minum miras, balapan motor, dan lain sebagainya. Orang tua mereka jelas panik, jika sampai waktu yang disepakati, si anak belum juga pulang. Dan yang tidak pernah absen mengiringi hiruk pikuk itu adalah pro kontra apakah seragam sekolah itu harus dicoret atau tidak. Berbeda perspektif, tentu berbeda pendapat. Jika saya ditanya, bolehkah, haruskah atau bisakah; seorang anak SMU mencoret seragamnya? Maka saya akan menjawab WAJIB. 

Kebetulan ada beberapa orang yang saya temui dan kami sempat ngobrol tentang hal mencorat-coret seragam sekolah. Semuanya menolak tradisi ini. Alasan mereka sangat mulia, sebaiknya pakaian seragam sekolah jangan dicoret tapi disumbangkan kepada anak sekolah lain/adik-adik mereka yang tidak punya seragam. Itu saja, lalu topik ini jadi tidak menarik lagi untuk dibahas dan kami berpindah ke topik lain, seperti kenaikan gaji, menanam pohon, dan perjalanan dinas.

Saya – kadang melihat diri saya – adalah orang yang mengagumi sejarah dan punya gejala kejiwaan yang sangat tertarik pada hal-hal berbau masa lalu. Misalnya, apa yang saya peroleh saat ini, pengetahuan, pekerjaan, skill; tidak diperoleh dari mesin photo copy. Semuanya memiliki riwayat sendiri-sendiri, dan kadang saya suka menceritakannya kepada siapa saja tentang bagaimana saya mendapatkan atau terlibat di dalamnya. Baik itu cerita kocak, sedih, bikin emosi, maupun yang happy ending. Coret seragam sekolah adalah salah satu kenangan yang sulit saya lupakan, atau membiarkannya lewat begitu saja. Justru karena dengan mencoret seragam sekolah, ada hal tertentu yang saya peroleh guna menatap masa depan. Sehingga fenomena itu bagi saya bukan semata-mata soal harga menghargai dunia pendidikan, tapi itu soal momentum. Bahwa ada satu hari Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk merayakan kelulusan dengan cara yang kita pilih untuk kemudian jadi kenangan abadi sepanjang hidup. Dan itu terjadi hanya satu kali dalam satu hari.

Kini dua puluh tahun sudah peristiwa itu telah lewat lalu saya merenung kembali, dan bertanya pada diri saya, apa manfaat saya berada di Sabtu Yang Ceria itu? Pertama, saya menyadari bahwa hari itu adalah hari resmi terakhir saya bersama teman-teman yang selama tiga empat tahun, kami melalui suka duka masa SMA. Terbayang siapa yang paling pintar, siapa yang paling jago matematika, jago bahasa Inggris. Belum lagi yang sering datang terlambat, yang tidak tahu mengerjakan PR, dan suka “dinas luar”. Hari esoknya tidak akan sama lagi. Tidak semua dari kami akan kuliah, atau membujang. Ada yang langsung kawin, besoknya – kalau ini di sekolah lain. 

Teman-teman saya di SMA ternyata lulus SECABA Polisi. Kemudian mereka dikirim ke SPN Jayapura guna menjalani pendidikan. Fajar HB, Andy Ayomi, Rediyanto Moli, Rimbun P., Danang, Eko, Lintar, dan kawan-kawan kini adalah perwira polisi di Polres Biak Numfor berpangkat Aipda. Saya sendiri waktu itu sudah lulus seleksi otomatis di Fakultas Pertanian Uncen di Manokwari, dan kabarnya dalam beberapa tahun kemudian, nama saya masih ada dalam register Fakultas. Tapi karena “hasutan” Bapak Drs. Nico Buiney, guru kimia hebat – saya memilih studi ke Jayapura di kampus STTJ – sekarang USTJ. Maka untuk mengakhiri kebersamaan kami di hari yang khusus, perlu perayaan yang juga khusus, yaitu seperti dengan corat-coret seragam sekolah. Tulislah namamu di seragamku, coretlah sesukamu, singkatnya.

Kedua, setelah kelulusan ini dan kita berencana sekolah lagi ke pendidikan tinggi, kita memasuki dunia pendidikan yang sepenuhnya baru dan lebih dewasa. Suatu dunia pendidikan yang tidak mengenal seragam sekolah tiap hari. Kalau di SD, kita gunakan seragam putih merah; di SMP kita menggunakan putih biru, lalu di SMA putih abu-abu. Inilah intinya, kita berpisah dengan segala tetek bengek seragam. Sebab di dunia kuliah, kita akan masuk kelas tanpa seragam, kecuali jas almamater yang hanya dikenakan pada acara khusus kemahasiswaan seperti Musorma, Raker dan lain sebagainya. Karena tidak akan digunakan lagi, mari kita mencoret seragam kita. Sabar dulu mas, kalau ini alasannya, sering kali kita akan menemukan alasan yang berseberangan. 

Seperti sudah saya sampaikan lebih dulu, semua orang yang saya datangi menganjurkan, alangkah baiknya seragam itu disumbangkan kepada anak sekolah lain yang membutuhkan. Tentu ini sangat mulia, membantu sesama. Lalu dua puluh tahun kemudian anak kita akan bertanya apakah pernah bapaknya terlibat dalam aksi coret seragam sekolah. Sang ayah yang pernah mencoret seragam akan mempunyai cerita yang berbeda kepada anaknya. Ayah yang tidak mencoret seragam mungkin akan menggelengkan kepala tanda tidak pernah. Lalu sekilas kemudian, anaknya disuruh tidur siang lalu bermimpi dengan mimpinya sendiri. Karena sang ayah, di hari yang amat spesial dalam hidupnya waktu itu, justru pulang ke rumah, makan dan juga tidur siang. Sayang sekali.


Kala kami telah mencorat-coret seragam kami hingga puas, datang ide untuk menghabiskan sisa siang itu di pantai. Semua mata melihat ke saya, dan tujuannya adalah Bosnik, Biak Timur. Lalu mungkin, Chun a.k.a Daniel Tanuria, ST – pemilik Toko Artha Komputer di Biak, berhasil mengontak Noke Lewasal, kakak kompleks saya di Karang Mulia. Noke - anak RESTAB - datang dengan truk dan mengangkut kami semua, anak-anak kelas III IPA 2. Dari lokasi sekolah, kami menuju Bosnik untuk makan kelapa muda dan mandi-mandi, tepatnya ke rumah Tete/Kakek saya di Kampung Bindusi/Manduser. Kira-kira sebelum tikungan papan kuning, di lokasi yang sekarang menjadi pangkalan truk, Chun berbalik dan mengucapkan kalimat ini, kurang lebihnya, “Mulai besok, kau mau jadi apa, itu sepenuhnya urusanmu, tidak ada lagi guru yang akan memarahimu. Karena urusan masa depanmu adalah urusanmu sendiri. Tidak ada lagi orang yang akan mengajarimu, harus begini, harus begitu!” Kalimat ini saya anggap sebagai motivasi hebat yang pernah diucapkan oleh seorang siswa pencoret seragam sekolah. Saya berdiri di sampingnya, mendengar dengan sangat jelas, lalu mengangguk dalam hati. Ketika kami melewati jembatan Ruar, tampak teman-teman dari SMK 1 – SMEA Bosnik sudah menceburkan diri ke dalam kali, rupanya mereka memilih kali Ruar sebagai tempat penghabisan. Lalu kami melambaikan tangan saja dan melanjutkan perjalanan. 

Truk berhenti di depan rumah, lalu saya turun dan dibiarkan berjalan sendirian lebih dulu. Nenek – saya memanggilnya Mama - sedang mencuci pakaian di dekat sumur. Sambil berjalan ke arahnya, saya pura-pura batuk. Ketika Mama melihat saya dengan seragam yang sudah kotor, dia sontak melepaskan semua cuciannya dan berlari menuju saya, sesaat dia memanggil Bapa – kakek, red; yang masih di dalam rumah untuk keluar. Mama berteriak, “Bapa, mari lihat, ko punya anak lulus!”. Bapa keluar, berdiri sebentar di pintu depan dan tersenyum. Lalu keduanya berlari mendapati, lalu memeluk dan mencium saya. Semua teman yang hadir di situ, bersorak dan tepuk tangan. Saya anggap itu adalah kado kelulusan yang indah. Betapa bangganya kedua orang tua saya saat itu. Tidak ada kelapa yang lolos, semua diturunkan untuk kami. Makan sepuasnya lalu kami pergi mandi di pantai. Dari rumah, kami jalan kaki ke Pantai Segara Indah. Kami mandi, bermain banting-bantingan, lalu karena saking semangatnya, Chun memukul dagu saya, membuat gusi saya sobek. Tidak apa-apa, cuma luka kecil. Setiap kali saya mengenangnya, hati saya bercampur rasa; ada rasa bersyukur, kadang bersedih; apa lagi Bapa sudah meninggal pada 5 November 2008. Sementara mama, menghabiskan hari-harinya seorang diri, di rumah yang pernah menjadi saksi kedatangan kami, rombongan anak III IPA 2 yang telah mendengar pengumuman kelulusan.

Saksi bisu kami


Lalu apa selanjutnya? Minggu berikutnya, kami melakukan hal yang mulia tadi. Karena ternyata kami punya dua seragam putih abu-abu selama ini; satu seragam yang lain – yang tidak dicoret, kami sumbangkan ke Wamena, iya, seingat saya ke Wamena meski cuma kemejanya. Aksi ini mendapat pujian dari Kepala Sekolah, Drs. Soegiman dan diucapkan di depan barisan apel siswa kelas III. Dia bilang, kira-kira seperti ini, “Contohlah anak-anak IPA 2, mereka selain mencoret, juga menyumbangkan seragamnya ke pihak lain yang membutuhkan!”. Semoga seragam kami memang berguna bagi mereka yang membutuhkan.

Jadi – sudah di akhir – bagi saya, hal mencoret seragam sekolah adalah hal yang sebenarnya spesial. Diperlukan sekurangnya dua belas tahun untuk dilalui oleh seorang anak sekolah di Indonesia dengan memakai seragam tiap hari. Lalu datang hari terakhir dia mengakhiri semua itu. Mencoret seragam bagi saya bukan sesuatu perbuatan tercela. Yang salah di hari itu adalah jika kita merayakannya dengan miras atau narkoba. Untungnya kami tidak. 

Saya mencoret seragam sekolah sebagai sebuah penghormatan, juga ucapan perpisahan. Sekali saya melangkah maju, tak ada lagi seragam dalam hidup saya, sampai pada hari di mana saya menjadi pegawai negeri sipil pada tahun 2010. Seragam tercoreng itu sudah saya simpan di lemari. Anehnya, pernah benda itu ikut ke Jayapura, lalu saya bawa balik ke Biak setelah sekian tahun. Sesekali bila saya mengingat sahabat-sahabat saya yang terpencar sana sini di muka bumi ini, saya selalu mengingat seragam itu. Lalu sambil menatapnya, kenangan itu diputar ulang bagai menonton film. Saya senyum-senyum sendiri. Dan ibarat kaset usang, kadang-kadang ada bagian tertentu dari kisah itu yang menghilang perlahan-lahan. Ketika saya mengakhiri tulisan ini, samar-samar terdengar lagu dari Panbers yang berjudul Nostalgia Lama. Hahaha…. semoga Tuhan melindungi semua sahabatku di mana saja mereka berada. Salam paling hormat….


Jumat, 04 Mei 2018

KEMEJA PENUH WARNA

Dilipat dan tersimpan rapi di dasar lemari pakaian saya. Ya, kemeja itu penuh warna, tapi bukan dari pabriknya. Warna itu corat-coretan Pilox; sebelas tahun yang lalu teman-teman sekelas melampiaskan kegembiraan mereka pada kemeja itu. Tepatnya hari Sabtu, tanggal 22 Mei 1999. Tentu banyak di antara mereka yang lupa hari dan tanggalnya, tapi saya tidak.

Hari itu, paginya, kami akan menerima pengumuman lulus SMU. Saya berangkat dari rumah tanpa kemeja sekolah, tapi kemeja bagaya. Belum sampai saya menginjak ambang kelas III IPA 2 markas kami; di bawah cemara sebelah mushola, Ipa dan Wike sudah menegur saya. Rugi dan tara rame, katanya kalau corat-coret baju tapi bukan pake kemeja sekolah. So what? Saya balik kanan ke Karang Mulia untuk ganti dengan kemeja sekolah. Uang transpornya mereka dua yang kasih. Dan tidak sampai setengah jam saya sudah kembali.

Belum diumumkan, tapi saya sudah mencat jambang dengan Paragon warna oranye. Mungkin ada yang dug-dag, tapi saya kala itu merasa biasa-biasa saja. Pasti lulus meski bukan anak paling pintar di kelas. Kelas kami punya label istimewa. Kumpulan mantan siswa-siswi SMP dengan DANEM hebat waktu masuk di SMUNSA Biak tahun 1996. Katanya kami kelas inti, tapi siapa bilang kami tak bisa bolos, tak bisa malas. Siapa sangka kami juga bisa bosan dan muak dengan rumus matematika, fisika dan kimia. Kami terus dikurung, diwajibkan belajar sementara kelas sebelah boleh berkeliaran kalau tidak ada guru.

Pada saat kelas 1 kami di taruh di I1, yang membuat teman-teman menamai kami KISS (Komando Inti Satu Satu). Di kelas 2, kami masih bersama. Cuma kali ini kami ada di kelas II4. Muncul nama baru, SIDE (Satuan Inti Dua Empat). Hingga di kelas III IPA, kami bertemu lagi, meski beberapa teman sudah pilih masuk jurusan IPS. Kali ini saya tak tahu nama gank-nya. Tapi seingat saya ada yang tulis begini, “III IPA 2 (Inti)”.

Mengumpulkan anak-anak hebat dalam satu kelas bukan jaminan kami akan selalu belajar. Buktinya ketika Pak Harianto Gommo pulang ke Makassar karena orang tuanya meninggal dan membuat jam biologi tidak ada guru; kami semakin menjadi-jadi dengan bola usang di depan kelas. Kami turun lapangan ketika kelas lain sedang belajar. Keonaran itu muncul jelang kami akan menempuh ujian akhir. Kami mulai belajar membangkang hingga suatu ketika kami tak lagi masuk jam Fisika setelah Penjas. Yang kami bikin justru menyanyi di Lab Bahasa sambil kena angin. Rusak! Tapi bukan otak kami.

Di kelas kami ada Firmansyah, yang dengar-dengar sekarang ini jadi dokter. Ia konstan di puncak sejak kami kelas satu. Kalau saja Ibu Siahaan, sang guru Sejarah tidak mengerjainya dengan nilai 8 pada Cawu 2 tahun itu, ia akan punya rekor 100% on top. Justru karena ke-b***h-an itulah, Ita Juliastuti, sekarang dokter jebolan Trisakti, menyalipnya dan Firmansya dibuat pukul-pukul meja. Rank 3 ditempati bergantian mulai Daniel Cun hingga Robby Sampe, teman semeja saya yang favorit Inter Milan. Selebihnya sering bergantian. Saya sendiri tak pernah yakin bisa sampai posisi 13 semasa Kelas 2.

Gold is for the winner. Hanya sang Juara yang berhak menerima semua pujian. Saya sendiri karena bukan yang paling pintar, tak peduli dengan siapa yang akan angkat piala. Sebab pasti dia-dia lagi. Kalau pun saya sudah lulus sebagai anak IPA, itu sudah lebih dari cukup dan membanggakan.

(Kalau tidak salah lonceng berbunyi) dan kami dikumpulkan di aula. Mendengar penjelasan sang Kepala. Singkatnya kami akan mendengar lulus atau tidak di kelas masing-masing dan disampaikan langsung oleh wali kelas. Tapi ada yang tidak enak. Saya terus disorot oleh Ibu Siahaan karena jambang saya berwarna oranye. Sambil masa bodoh saya menuju kelas bersama teman-teman untuk kemudian menerima raport dan pengumuman 100% lulus itu. Pesta pun dimulai.


The G-Day - Ketika semua berpesta

Kemeja, celana, rok hingga kepala tak ada yang lolos. Semuanya dicoret habis dengan pilox dan spidol. Hijau, oranye, ungu, gold, silver hingga merah mencari tempat yang kosong. Bukan hanya siswa, kemeja saya ditandatangani oleh Pak Dharmono dan Pak Niko Buiney (sekarang jadi Kepsek-nya). Semua penuh warna terlebih kemeja yang saya pakai. Anehnya, kemeja itu hingga sekarang tak pernah saya cuci.

Kemeja penh warna itu juga tak bernoktah atau bau rusak; paling-paling apek karena terlalu lama disimpan. Kemarin dulu, adik saya juga menerima pengumuman lulus SMU tapi ia pulang ke rumah biasa-biasa saja, kemejanya bersih. Saya tak akan tanya kenapa sebab yang saya dengar, hingga pihak Dinas Pendidikan pun melarang siswa-siswi SMU merayakan kelulusan dengan corat-coret baju. Bahkan syarat menunjukkan kemeja bersih merupakan syarat pada saat menerima ijazah. Memang sich, ada yang tetap corat-coret kemeja juga meski dilarang. Saya duduk berpikir, kenapa semua itu dilarang. Tak boleh ada siswa corat-coret baju.

Kini waktu telah berubah, saya bukan lagi anak SMU. Apa baiknya menyamakan waktu saya dulu dengan waktu sekarang? Saya ambil HP dan menulis ulang cerita singkat itu di Facebook, ada sekitar 12 notification setelah itu. Satu per satu saya membaca, hingga ada komentar yang bilang, I miss U, guys… Saya tersenyum haru, setelah sekian tahun semua itu terjadi, dari kemeja yang penuh warna ini, satu dengan yang lain masih saling mengingat. Bahwa saya, kamu dan dia adalah sahabat; pernah bersama dalam suatu siatuasi yang membahagiakan. Meski hanya dengan corat-coret baju, saya kira itu adalah ucapan perpisahan yang mendalam dan tak akan terlupakan. Sebab memang kami akhirnya cari jalan sendiri-sendiri. Hingga kelak kami akan bertemu lagi, mana mungkin corat-coret baju tidak akan kami ceritakan ulang. Bayangkan dengan generasi sekarang, kelak apa yang akan mereka ceritakan? Semoga saja bukan miras.

End of April 2010

Dicky - Decky - Deckman
The Big Guy They Always Have

Selasa, 27 September 2011

NASIB TRAGIS PSM DI STADION MANDALA

Mandala - Markas Persipura yang angker.
Pagi hari sebelum laga ini berlangsung, beberapa koran lokal menulis Persipura akan membalas "dendam kesumatnya" kepada PSM. Tulisan2 seperti ini secara terbuka mengakui bahwa pertemuan antara Persipura dan PSM di Liga Indonesia bukan sekedar permainan bola yang dioper ke sana sini melainkan gengsi. Pertemuan kedua tim seakan ingin membuktikan siapa di luar tanah Jawa yang terbaik, khusus di wilayah Timur. Maka jika anda ada di Jayapura pada hari Persipura dan PSM akan berlaga, anda akan merasa suhu pertandingan sendiri sudah panas dari luar lapangan. Dan jangan lupa, satu setengah jam sebelum kick-off, anda sudah harus ada di dalam stadion kalau ingin kebagian tempat duduk. Sebab fenomena karcis sold out adalah hal yang biasa jika Mutiara Hitam vs Juku Eja.

Begitu juga di hari ini. Didukung cuaca cerah dan suhu yang begitu panas baik dari langit maupun dari sekeliling stadion, PSM masuk lapangan dengan sedikit keberanian dan optimisme untuk meredam laju Persipura yang tidak terkalahkan dalam empat pertandingan terakhirnya di LI. Sebaliknya Persipura tidak kalah ambisius, meski di laga ini mereka harus tampil minus Jack Komboy yang berduka atas meninggalnya sang ayahanda yang mantan ketua Persipura di era 70's. Persipura yang bertekad mengubur PSM di Mandala, datang dengan satu muka baru, Kalamen Yves yang ditransfer dari Deltras. Pendeknya kick-off akhirnya dilakukan oleh Persipura di babak pertama dan perang itu dimulai.

Saya, yang untuk pertama kali sejak Persipura main terakhir dengan PSMS di Laga 8 Besar musim lalu, kembali menginjakkan kaki di Tribun Liverpool. Dari Tribun Keramat ini, saya menyaksikan bahwa Persipura musim ini bukan Persipura musim lalu. Begitu juga PSM yang begitu menakutkan beberapa musim belakangan ini tak lagi tampil seperti yang dibesar-besarkan orang dan pers. PSM tak lagi berbahaya seperti yang saya saksikan langsung dua musim lalu meski saat ini dipegang pelatih kawakan, Henk Wullems. Kalau saya boleh menilai, pertandingan ini tak ada bedanya dengan sebuah partai uji coba atau pertemuan antara tim-tim yang ada di Zona Degradasi. Meski akhirnya Persipura menang lewat gol Kalamen Yves di akhir2 babak ke-dua, namun Persipura tampil di bawah permainan terbaiknya seperti kala memenangkan Piala Presiden musim lalu. PSM kalah dengan sangat tragis, sebaliknya kemenangan Persipura ini sangat dramatis.

Gol di babak2 akhir memang menyakitkan. Siapapun tim itu, tentu akan sangat menyesal jika semua kerja keras mereka harus hancur karena ketidaksiagaan di akhir laga. Hanya saja semua Persipuramania harus mengakui Persipura bermain seperti tim amatir yang selalu salah mengumpan atau bahkan sulit sekali mencari posisi kosong. Di sisi lain PSM datang hanya untuk bertahan dan mengandalkan serangan balik seperti halnya yang sering dilakukan tim-tim lain di wilayah timur ketika tandang ke Mandala.

Namun bukan berarti Persipura main tanpa peluang. Beberapa peluang sempat tercipta, dan yang tidak bisa dimaafkan adalah ketika Spiderman Carascao dijatuhkan di dalam kotak penalti tapi wasit menganggapnya biasa2 saja. Saya yang tepat berada di depan kejadian itu melihat dengan jelas, kalau saja Spiderman-yang sudah berhadapan muka dengan Samsidar- tidak dijatuhkan maka jala PSM sudah koyak di pertengahan babak ke-dua. Tapi saya bisa memaklumi, posisi wasit saat itu dihalangi tiga pemain PSM. Maka ketika Spiderman jatuh, dan wasit tidak memberi penalti, bayangan seri sudah ada di benak saya.

Memasuki menit2 80-an, drama2 kotorpun dilakoni. Saya sangat heran ketika pemain PSM bernomor punggul 19 yang bernama Iqbal harus ditandu keluar sebanyak tiga kali. Padahal dia tidak terlibat kontak serius dengan pemain2 Persipura. Lucunya setiap kali dia akan masuk lapangan, Si Iqbal ini seperti tidak mengalami apa-apa. Acting pura-pura cedera ini memang bukan barang baru di sepakbola Indonesia. Dan menurut saya, mental2 seperti itulah yang membuat sepakbola Indonesia tidak pernah maju.

Akhirnya, ketika bola liar hasil kemelut di depan gawang PSM dengan sempurna disarangkan Kalamen Yves di masa injury time, PSM baru sadar kalau mereka mengalami sesuatu yang terjadi di luar rencana. Dan ketika semua pemain PSM beramai-ramai mengurung pertahanan Persipura, semua sudah terlambat. Persipura meski tampil jauh dari penampilan mereka yang sebenarnya, akhirnya menepuk dada ketika peluit panjang berbunyi. PSM menyia-nyiakan kesempatan dengan strategi tak berguna mereka. Meski mampu menahan imbang Persipura sepanjang permainan namun percaya diri mereka yang berlebihan justru menghancurkan mereka sendiri. Satu kesalahan di menit akhir membuat mereka meninggalkan Jayapura tanpa poin, sungguh tragis.

Apakah Persipura akan mampu masuk babak 8 besar musim ini ? Bagi orang seperti saya yang percaya bahwa segala hal bisa terjadi di sepakbola, 8 besar bukan sesuatu yang tidak mungkin. Tapi jika melihat permainan mereka hari ini, saya dengan berani akan bilang kalau Persipura itu ibarat seekor unta yang akan masuk lewat lobang jarum. Seandainya mereka berhasil melewatinya, maka jangan heran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebab bukankah di sepakbola, hal-hal yang unbelieveable sering terjadi ?

Abepura, 14 Agustus 2006

Dicky Man

Senin, 19 September 2011

PENAMPILAN PERDANA ASRAMA BIAK

Inilah tim yang dibangun sembilan tahun lalu. Para pemain datang dan pergi, Asbik tetap ada...
 
GAGAL! Itulah hasil yang dipetik tim sepak bola Asrama Mahasiswa Biak Numfor (ASBIK) dalam kejuaraan sepak bola yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Biak (HIMABI) di Lapangan Misi dan Trikora, Abepura. Kejuaraan yang digelar dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun HIMABI ke-V ini diikuti oleh ikatan-ikatan mahasiswa se-Kabupaten Biak Numfor, termasuk tim sepak bola Asrama Mahasiswa Biak Numfor yang turun dengan nama ASBIK. Bagi tim yang diawaki Donald Mirino dan kawan-kawan, ini adalah penampilan perdana mereka.

Kegagalan tim berkostum oranye ini untuk melangkah ke babak semifinal dipastikan lewat kekalahan beruntun dalam tiga pertandingan. Tim ASBIK yang tergabung bersama Himpunan Mahasiswa dan Pelajar (HIMAPEL) Supiori Selatan, Ikatan Keluarga Numfor (IKN) B dan Ikatan Mahaiswa dan Pelajar (IMP) Kepulauan Padaido, akhirnya harus puas menduduki urutan buncit pool A.

Walaupun tidak lolos ke babak berikut, namun ASBIK masih bisa bangga dengan tujuh gol yang dihasilkan duet striker mereka, Yusak Rumbino dan Musa Rejauw. Manajer Tim ASBIK, Donald Mirino berkomentar, bahwa meskipun timnya kalah, ia tidak kecewa. "Teman-teman menampilkan petmainan yang bersih dan benar-benar menarik!" Ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi saya dan teman-teman," paparnya.

Nada serupa juga disampaikan kapten tim, Simon Rumbino. Bek handal Fakultas Ekonomi Uncen itu mengakui bahwa rekan-rekannya masih lemah dalam hal stamina, walaupun teknik individual mereka cukup memadai.

Kekalahan pertama dialami dengan skor 6 - 4 ketika pada 17 November lalu, ASBIK menjajal HIMAPEL Supiori Selatan. Gol-gol dalam pertandingan ini, disarangkan Yusak Rumbino (nomor punggung 10) setelah melakukan hattrick. Juga kapten tim, Rumbino.

Harapan Tim ASBIK untuk melaju ke semifinal dikandaskan IKN B dengan skor tip is 3 - 2. Padahal ASBIK telah unggul lebih dulu dengan dua gol. "Gol ketiga mereka, benar-benar membuat saya lemas!," komentar Michael Randongkir, pencetak gal kedua ASBIK. Uniknya, ASBIK kemudian mengajukan protes tertulis kepada panitia karena menilai mereka dicurangi oleh salah satu hakim garis. Menurut Dicky Menufandu, salah satu anggota tim ofisial, hakim garis tersebut terlampau berat sebelah karena ia selalu meloloskan pemain-pemain IKN B yang jelas-jelas dalam posisi off-side. Dicky mengatakan, mereka telah meminta kepada panitia agar hakim garis seperti itu tidak dipakai lagi dalam pertandingan-pertandingan selanjutnya. "Kalau kabut model begitu masih di-pake, bisa-bisa kualitas pertandingan akan menurun," tambahnya.

Kekalahan ketiga diderita setelah jumat kemarin, ASBIK harus mengakui keunggulan Tim IMP Kepulauan Padaido dengan hasil 1 - 2. Kembali ASBIK harus menelan pil pahit walau di babak pertama mereka unggul lewat kaki Musa Rejauw.

Menyambut pertandingan-pertandingan mendatang, kata Donald Mirino, yang juga ketua asrama mahasiswa Biak Numfor, timnya akan melakukan latihan secara kontinyu, agar pemainnya benar-benar siap berlaga.

Berbeda dengan tim sepak bola, tim bola voli ASBIK tetap merajai kejuaraan yang juga digelar oleh HIMABI. Tim ini tak terkalahkan dalam tiga pertandingan berturut-turut.

Ketua Asrama Mahasiswa Biak Numfor menambahkan bahwa lewat sejumlah kegiatan HlMABI, ia berharap sesama mahasiswa Biak dapat lebih saling mengenal satu dengan yang lain. Agar persaudaraan yang telah ditanamkan para pendahulu/senior mereka tetap terjaga. "Ambisi" juara tentu tak dilarang, namun yang lebih penting dari itu tentu saja kebersamaan. * * * jwm/ps asbik

Tim Sepak bola ASBIK
Ofisial : 
Donald Mirino, Dicky Menufandu, Anton Wambrauw
Pemain:
Deddy Rejauw, Simon Rumbino (kapten), Apolos Pombos, Christian Infandi, Gilberth Abidondifu, Loth Rumbino, Michael Randongkir, Otto Kapitarauw, Richard Msen, Ishak Rumbewas, Elisa Urbasa, Piet Abrauw, Robby Mampioper, Jean Ayer, Valen Kafiar, Musa Rejauw, Yusak Rumbino.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 Tulisan ini pertama kali dimuat di Tabloid JUBI (Jujur Bicara) sekitar minggu III November 2002. Ditulis oleh saya sendiri dan karena Pemred JUBI menilai tulisan ini bagus, tak satu katapun ia edit.  Langsung saja lulus dan seingat saya ditaruh di halaman paling akhir/rubrik Sport. Klipping tabloid-nya masih disimpan oleh saudara Apolos Pombos dari Sim Mgan