Rabu, 18 Desember 2019

MEREKA DISEBUT "PELA" - PENUMPANG ILEGAL


PT. Pelni menyebutnya penumpang ilegal, tapi di Biak - Papua, mereka disebut “Pelarian” disingkat "Pela". Bagi saya, tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakan istilah “Pelarian” kepada para penumpang yang naik kapal laut tanpa tiket. Juga tidak jelas, manusia siapa yang memulainya lebih dahulu. Yang pasti di setiap pelayaran kapal laut, selalu saja ada pela.

Mereka ini semua tidak akan membayar tiket kapal


Jika acuannya musim “berangkat”, pela tidak mengenal waktu. Hanya intesitasnya saja yang turun naik. Dengan meminjam waktu dari dunia sekolah atau kuliah, kita bisa melihat. Kalau masanya bukan liburan, jumlah pela cenderung kecil. Tapi jangan tanya kalau musim liburan tiba, jumlah mereka bisa berlipat ganda. Siapa sebenarnya para penumpang ilegal? Apa, mengapa, di mana dan bagaimana mereka bisa memilih naik kapal tanpa tiket? Mungkin catatan kecil ini bisa sedikit memberi gambaran.

Napi, barang apa yang di botol plastik itu?

Kapal laut merupakan sarana transportasi yang populer di tempat kita. Dibandingkan dengan pesawat udara, biaya perjalanan dengan kapal laut tergolong lebih murah. Tapi ongkos perjalanan yang murah tidak menjamin semua penumpangnya naik dengan tiket di tangan. Selama hampir sepuluh tahun saya menggunakan sarana transportasi ini, selalu saya temukan ada penumpang ilegal atau yang saya sebut pela tadi. Apalagi menjelang libur natal seperti sekarang ini.

Mereka sebagian besar adalah orang-orang muda, entah itu pelajar, mahasiswa, pengangguran bahkan “anggota”. Pela juga tidak kenal isu gender, sebab laki-laki atau perempuan sama nekatnya. Jarang saya melihat ada “orang tua” yang pela, tentunya mereka bukan “ja-im” (jaga image) tapi karena patuh pada aturan. Bandingkan dengan anak-anak muda yang cenderung “semau-maunya”.


Pace yang pakai rompi kuning ini anak Yenures, Biak

Ketika ditanya, mengapa mereka memilih tidak beli tiket, macam-macam jawaban bisa kita peroleh. Ada yang mengaku tidak punya uang, ada yang ikut-ikutan karena teman, ada juga yang bilang lupa beli, uang tiket jatuh atau dicopet. Tapi simak alasan seperti ini; “Pelni tidak akan rugi, toh yang tidak beli tiket cuma sedikit orang.” Atau ada yang bilang untuk apa beli tiket, naik kapal juga tidak dapat tempat tidur, buat apa bayar mahal-mahal (nah, loh..). Tapi yang luar biasa, tentu yang bilang begini, “Saya sejak dulu naik kapal tidak pernah beli tiket, sudah kebiasaan!” Jadi yang namanya melanggar aturan, dalihnya bisa macam-macam. Ada banyak lagi alasan yang bisa kita dengar, tapi saya kira yang di atas tadi sudah bisa bikin anda geleng-geleng kepala tanda mengerti. Nah, untuk menemukan mereka tidak susah, tunggu saja sampai waktu pemeriksaan tiket, semuanya akan berkumpul di dek nomor sembilan, di bawah cerobong asap, dekat sekoci. Kok bisa naik sampai ke sana? Jangan ditanyalah.


Seperti disinggung pada bagian awal, pada masa bukan liburan, jumlah pela cenderung sedikit, tapi coba lihat pada masa liburan seperti sekarang. Puncaknya akan terlihat pada saat “Kapal Terakhir”. Jumlah penumpang ilegal bisa lebih dari tiga ratus orang seperti yang saya lihat dalam tiga tahun terakhir ini.

Kemudian saat dalam perjalanan, pela selalu punya aktivitas sendiri yang berbeda dengan penumpang lain. Catat saja, konsumsi miras, corat-coret kapal, berjoget ria, panjat-panjat ke menara anjungan, menyanyi nonstop bahkan ada yang nekat mencuri peralatan safety (pelampung misalnya). Mereka tidak pernah pikir kabin yang nyaman, sadar bahwa mereka naik kapal dengan melanggar aturan, yang terpenting adalah bagaimana bisa bertahan hingga tiba di tujuan. Dan pela terbanyak selalu akan turun di pelabuhan transit pertama; dalam kasus saya, pelabuhan Biak dan Serui.



Terus waktu pemeriksaan tiket bagaimana? Pela-pela ini santai saja, sebab toh mereka akan diperiksa paling akhir. Waktu tiba giliran mereka, tim pemeriksa tiket tinggal menyodorkan kantong plastik, berapa yang ada di saku mereka tinggal “disumbangkan”, tidak lupa bilang terima kasih. Jumlahnya bervariasi tapi kadang yang paling besar nilainya cuma lima belas ribu rupiah. Kalau ada yang bayar dua puluh ribu ke atas, anaknya perlu dicek, barangkali itu debutnya sebagai pela atau karena takut dimarahi petugas. Pernah dalam satu kali pemeriksaan tiket, ada petugas yang bilang, “Memangnya ko kira ko naik ojek kah?”, sebab salah satu pela cuma setor dua ribu rupiah.



Pela-pela ini jelas  melanggar aturan. Padahal semua penumpang kapal wajib membeli tiket. Dengan membeli tiket, hak-hak sebagai penumpang kapal terjamin; apalagi kalau isunya sudah bicara ke arah musibah di laut. Kita juga tak bisa menutup mata, penumpang ilegal ini jelas suatu fenomena negatif dalam dunia jasa transportasi laut kita. Apakah ada solusi yang bisa dicari untuk menyelesaikannya atau sanksi bagi mereka? Kalau sudah bicara terobosan baru atau sanksi, itu bukan minat dan maksud saya menulis. Sebab dua tahun lalu, tahun lalu bahkan tahun ini saya juga (rencana) pela.

Padang Bulan, December 18, 2008

Dicky Man
Seorang PELA

(Telah diubah seperlunya), tulisan asli ada pada 
https://web.facebook.com/notes/menufandu-dicky/mereka-disebut-pela/113607110198/
Seluruh gambar adalah dokumentasi/koleksi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar