Dilipat dan tersimpan rapi di dasar lemari pakaian saya. Ya, kemeja itu penuh warna, tapi bukan dari pabriknya. Warna itu corat-coretan Pilox; sebelas tahun yang lalu teman-teman sekelas melampiaskan kegembiraan mereka pada kemeja itu. Tepatnya hari Sabtu, tanggal 22 Mei 1999. Tentu banyak di antara mereka yang lupa hari dan tanggalnya, tapi saya tidak.
Hari itu,
paginya, kami akan menerima pengumuman lulus SMU. Saya berangkat dari
rumah tanpa kemeja sekolah, tapi kemeja bagaya. Belum sampai saya
menginjak ambang kelas III IPA 2 markas kami; di bawah cemara sebelah mushola, Ipa dan Wike sudah menegur saya. Rugi dan tara rame,
katanya kalau corat-coret baju tapi bukan pake kemeja sekolah. So what?
Saya balik kanan ke Karang Mulia untuk ganti dengan kemeja sekolah. Uang
transpornya mereka dua yang kasih. Dan tidak sampai setengah jam saya
sudah kembali.
Belum diumumkan, tapi saya sudah mencat jambang dengan
Paragon warna oranye. Mungkin ada yang dug-dag, tapi saya kala itu
merasa biasa-biasa saja. Pasti lulus meski bukan anak paling pintar di
kelas. Kelas kami punya label istimewa. Kumpulan mantan siswa-siswi SMP
dengan DANEM hebat waktu masuk di SMUNSA Biak tahun 1996. Katanya kami kelas
inti, tapi siapa bilang kami tak bisa bolos, tak bisa malas. Siapa
sangka kami juga bisa bosan dan muak dengan rumus matematika, fisika dan
kimia. Kami terus dikurung, diwajibkan belajar sementara kelas sebelah
boleh berkeliaran kalau tidak ada guru.
Pada saat kelas 1 kami di
taruh di I1, yang membuat teman-teman menamai kami KISS (Komando Inti
Satu Satu). Di kelas 2, kami masih bersama. Cuma kali ini kami ada di
kelas II4. Muncul nama baru, SIDE (Satuan Inti Dua Empat). Hingga di
kelas III IPA, kami bertemu lagi, meski beberapa teman sudah pilih masuk jurusan
IPS. Kali ini saya tak tahu nama gank-nya. Tapi seingat saya ada yang
tulis begini, “III IPA 2 (Inti)”.
Mengumpulkan anak-anak hebat dalam
satu kelas bukan jaminan kami akan selalu belajar. Buktinya ketika Pak
Harianto Gommo pulang ke Makassar karena orang tuanya meninggal dan
membuat jam biologi tidak ada guru; kami semakin menjadi-jadi dengan
bola usang di depan kelas. Kami turun lapangan ketika kelas lain sedang
belajar. Keonaran itu muncul jelang kami akan menempuh ujian akhir. Kami
mulai belajar membangkang hingga suatu ketika kami tak lagi masuk jam
Fisika setelah Penjas. Yang kami bikin justru menyanyi di Lab Bahasa
sambil kena angin. Rusak! Tapi bukan otak kami.
Di kelas kami ada
Firmansyah, yang dengar-dengar sekarang ini jadi dokter. Ia konstan di
puncak sejak kami kelas satu. Kalau saja Ibu Siahaan, sang guru Sejarah
tidak mengerjainya dengan nilai 8 pada Cawu 2 tahun itu, ia akan punya
rekor 100% on top. Justru karena ke-b***h-an itulah, Ita Juliastuti,
sekarang dokter jebolan Trisakti, menyalipnya dan Firmansya dibuat
pukul-pukul meja. Rank 3 ditempati bergantian mulai Daniel Cun hingga
Robby Sampe, teman semeja saya yang favorit Inter Milan. Selebihnya
sering bergantian. Saya sendiri tak pernah yakin bisa sampai posisi 13
semasa Kelas 2.
Gold is for the winner. Hanya sang Juara yang berhak
menerima semua pujian. Saya sendiri karena bukan yang paling pintar,
tak peduli dengan siapa yang akan angkat piala. Sebab pasti dia-dia
lagi. Kalau pun saya sudah lulus sebagai anak IPA, itu sudah lebih dari
cukup dan membanggakan.
(Kalau tidak salah lonceng berbunyi) dan
kami dikumpulkan di aula. Mendengar penjelasan sang Kepala. Singkatnya
kami akan mendengar lulus atau tidak di kelas masing-masing dan
disampaikan langsung oleh wali kelas. Tapi ada yang tidak enak. Saya
terus disorot oleh Ibu Siahaan karena jambang saya berwarna oranye.
Sambil masa bodoh saya menuju kelas bersama teman-teman untuk kemudian
menerima raport dan pengumuman 100% lulus itu. Pesta pun dimulai.
![]() |
The G-Day - Ketika semua berpesta |
Kemeja,
celana, rok hingga kepala tak ada yang lolos. Semuanya dicoret habis
dengan pilox dan spidol. Hijau, oranye, ungu, gold, silver hingga merah
mencari tempat yang kosong. Bukan hanya siswa, kemeja saya
ditandatangani oleh Pak Dharmono dan Pak Niko Buiney (sekarang jadi
Kepsek-nya). Semua penuh warna terlebih kemeja yang saya pakai. Anehnya,
kemeja itu hingga sekarang tak pernah saya cuci.
Kemeja penh warna itu
juga tak bernoktah atau bau rusak; paling-paling apek karena terlalu
lama disimpan. Kemarin dulu, adik saya juga menerima pengumuman lulus
SMU tapi ia pulang ke rumah biasa-biasa saja, kemejanya bersih. Saya
tak akan tanya kenapa sebab yang saya dengar, hingga pihak Dinas
Pendidikan pun melarang siswa-siswi SMU merayakan kelulusan dengan
corat-coret baju. Bahkan syarat menunjukkan kemeja bersih merupakan
syarat pada saat menerima ijazah. Memang sich, ada yang tetap
corat-coret kemeja juga meski dilarang. Saya duduk berpikir, kenapa
semua itu dilarang. Tak boleh ada siswa corat-coret baju.
Kini waktu
telah berubah, saya bukan lagi anak SMU. Apa baiknya menyamakan waktu
saya dulu dengan waktu sekarang? Saya ambil HP dan menulis ulang cerita
singkat itu di Facebook, ada sekitar 12 notification setelah itu. Satu
per satu saya membaca, hingga ada komentar yang bilang, I miss U, guys…
Saya tersenyum haru, setelah sekian tahun semua itu terjadi, dari kemeja
yang penuh warna ini, satu dengan yang lain masih saling mengingat.
Bahwa saya, kamu dan dia adalah sahabat; pernah bersama dalam suatu
siatuasi yang membahagiakan. Meski hanya dengan corat-coret baju, saya
kira itu adalah ucapan perpisahan yang mendalam dan tak akan terlupakan.
Sebab memang kami akhirnya cari jalan sendiri-sendiri. Hingga kelak
kami akan bertemu lagi, mana mungkin corat-coret baju tidak akan kami
ceritakan ulang. Bayangkan dengan generasi sekarang, kelak apa yang akan
mereka ceritakan? Semoga saja bukan miras.
Dicky - Decky - Deckman
The Big Guy They Always Have
Tidak ada komentar:
Posting Komentar