Jumat, 04 Mei 2018

KEMEJA PENUH WARNA

Dilipat dan tersimpan rapi di dasar lemari pakaian saya. Ya, kemeja itu penuh warna, tapi bukan dari pabriknya. Warna itu corat-coretan Pilox; sebelas tahun yang lalu teman-teman sekelas melampiaskan kegembiraan mereka pada kemeja itu. Tepatnya hari Sabtu, tanggal 22 Mei 1999. Tentu banyak di antara mereka yang lupa hari dan tanggalnya, tapi saya tidak.

Hari itu, paginya, kami akan menerima pengumuman lulus SMU. Saya berangkat dari rumah tanpa kemeja sekolah, tapi kemeja bagaya. Belum sampai saya menginjak ambang kelas III IPA 2 markas kami; di bawah cemara sebelah mushola, Ipa dan Wike sudah menegur saya. Rugi dan tara rame, katanya kalau corat-coret baju tapi bukan pake kemeja sekolah. So what? Saya balik kanan ke Karang Mulia untuk ganti dengan kemeja sekolah. Uang transpornya mereka dua yang kasih. Dan tidak sampai setengah jam saya sudah kembali.

Belum diumumkan, tapi saya sudah mencat jambang dengan Paragon warna oranye. Mungkin ada yang dug-dag, tapi saya kala itu merasa biasa-biasa saja. Pasti lulus meski bukan anak paling pintar di kelas. Kelas kami punya label istimewa. Kumpulan mantan siswa-siswi SMP dengan DANEM hebat waktu masuk di SMUNSA Biak tahun 1996. Katanya kami kelas inti, tapi siapa bilang kami tak bisa bolos, tak bisa malas. Siapa sangka kami juga bisa bosan dan muak dengan rumus matematika, fisika dan kimia. Kami terus dikurung, diwajibkan belajar sementara kelas sebelah boleh berkeliaran kalau tidak ada guru.

Pada saat kelas 1 kami di taruh di I1, yang membuat teman-teman menamai kami KISS (Komando Inti Satu Satu). Di kelas 2, kami masih bersama. Cuma kali ini kami ada di kelas II4. Muncul nama baru, SIDE (Satuan Inti Dua Empat). Hingga di kelas III IPA, kami bertemu lagi, meski beberapa teman sudah pilih masuk jurusan IPS. Kali ini saya tak tahu nama gank-nya. Tapi seingat saya ada yang tulis begini, “III IPA 2 (Inti)”.

Mengumpulkan anak-anak hebat dalam satu kelas bukan jaminan kami akan selalu belajar. Buktinya ketika Pak Harianto Gommo pulang ke Makassar karena orang tuanya meninggal dan membuat jam biologi tidak ada guru; kami semakin menjadi-jadi dengan bola usang di depan kelas. Kami turun lapangan ketika kelas lain sedang belajar. Keonaran itu muncul jelang kami akan menempuh ujian akhir. Kami mulai belajar membangkang hingga suatu ketika kami tak lagi masuk jam Fisika setelah Penjas. Yang kami bikin justru menyanyi di Lab Bahasa sambil kena angin. Rusak! Tapi bukan otak kami.

Di kelas kami ada Firmansyah, yang dengar-dengar sekarang ini jadi dokter. Ia konstan di puncak sejak kami kelas satu. Kalau saja Ibu Siahaan, sang guru Sejarah tidak mengerjainya dengan nilai 8 pada Cawu 2 tahun itu, ia akan punya rekor 100% on top. Justru karena ke-b***h-an itulah, Ita Juliastuti, sekarang dokter jebolan Trisakti, menyalipnya dan Firmansya dibuat pukul-pukul meja. Rank 3 ditempati bergantian mulai Daniel Cun hingga Robby Sampe, teman semeja saya yang favorit Inter Milan. Selebihnya sering bergantian. Saya sendiri tak pernah yakin bisa sampai posisi 13 semasa Kelas 2.

Gold is for the winner. Hanya sang Juara yang berhak menerima semua pujian. Saya sendiri karena bukan yang paling pintar, tak peduli dengan siapa yang akan angkat piala. Sebab pasti dia-dia lagi. Kalau pun saya sudah lulus sebagai anak IPA, itu sudah lebih dari cukup dan membanggakan.

(Kalau tidak salah lonceng berbunyi) dan kami dikumpulkan di aula. Mendengar penjelasan sang Kepala. Singkatnya kami akan mendengar lulus atau tidak di kelas masing-masing dan disampaikan langsung oleh wali kelas. Tapi ada yang tidak enak. Saya terus disorot oleh Ibu Siahaan karena jambang saya berwarna oranye. Sambil masa bodoh saya menuju kelas bersama teman-teman untuk kemudian menerima raport dan pengumuman 100% lulus itu. Pesta pun dimulai.


The G-Day - Ketika semua berpesta

Kemeja, celana, rok hingga kepala tak ada yang lolos. Semuanya dicoret habis dengan pilox dan spidol. Hijau, oranye, ungu, gold, silver hingga merah mencari tempat yang kosong. Bukan hanya siswa, kemeja saya ditandatangani oleh Pak Dharmono dan Pak Niko Buiney (sekarang jadi Kepsek-nya). Semua penuh warna terlebih kemeja yang saya pakai. Anehnya, kemeja itu hingga sekarang tak pernah saya cuci.

Kemeja penh warna itu juga tak bernoktah atau bau rusak; paling-paling apek karena terlalu lama disimpan. Kemarin dulu, adik saya juga menerima pengumuman lulus SMU tapi ia pulang ke rumah biasa-biasa saja, kemejanya bersih. Saya tak akan tanya kenapa sebab yang saya dengar, hingga pihak Dinas Pendidikan pun melarang siswa-siswi SMU merayakan kelulusan dengan corat-coret baju. Bahkan syarat menunjukkan kemeja bersih merupakan syarat pada saat menerima ijazah. Memang sich, ada yang tetap corat-coret kemeja juga meski dilarang. Saya duduk berpikir, kenapa semua itu dilarang. Tak boleh ada siswa corat-coret baju.

Kini waktu telah berubah, saya bukan lagi anak SMU. Apa baiknya menyamakan waktu saya dulu dengan waktu sekarang? Saya ambil HP dan menulis ulang cerita singkat itu di Facebook, ada sekitar 12 notification setelah itu. Satu per satu saya membaca, hingga ada komentar yang bilang, I miss U, guys… Saya tersenyum haru, setelah sekian tahun semua itu terjadi, dari kemeja yang penuh warna ini, satu dengan yang lain masih saling mengingat. Bahwa saya, kamu dan dia adalah sahabat; pernah bersama dalam suatu siatuasi yang membahagiakan. Meski hanya dengan corat-coret baju, saya kira itu adalah ucapan perpisahan yang mendalam dan tak akan terlupakan. Sebab memang kami akhirnya cari jalan sendiri-sendiri. Hingga kelak kami akan bertemu lagi, mana mungkin corat-coret baju tidak akan kami ceritakan ulang. Bayangkan dengan generasi sekarang, kelak apa yang akan mereka ceritakan? Semoga saja bukan miras.

End of April 2010

Dicky - Decky - Deckman
The Big Guy They Always Have

Tidak ada komentar:

Posting Komentar