Kamis, 16 Mei 2019

CORETLAH SESUKAMU

Ketika seorang perempuan meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal, Yudas membuat sebuah pernyataan yang diamini banyak orang, mengapa minyak wangi itu harus dihabiskan ke kaki Yesus; bukankah lebih baik minyak itu dijual lalu uangnya diberikan kepada orang miskin? Apa jawab perempuan itu?

Dalam tulisan saya yang lain dengan judul “Kemeja Penuh Warna”, saya menceritakan hingar bingar perayaan kelulusan ketika saya dan kawan-kawan saya tamat dari SMU Negeri 1 Biak Kota. Peristiwa itu terjadi dua puluh tahun lalu, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 1999. Suatu momen di mana kami memiliki hari untuk merayakan pernyataan kelulusan sebagai anak sekolah menengah lanjutan atas sesuka hati kami. Sudah dua puluh tahun, tetapi berkat tulisan itu, dan juga ingatan saya, rentetan peristiwa mulai dari pagi hingga sore itu masih terekam baik.

Beberapa hari lalu - Senin, 13 Mei 2019; anak-anak sekolah tingkat SMA sederajat juga melalui momen yang sama, mendengar pengumuman lulus lalu merayakannya dengan cara yang kurang lebih sama dengan tradisi tahunan, mencorat-coret seragam sekolah. Beberapa di antaranya mungkin minum miras, balapan motor, dan lain sebagainya. Orang tua mereka jelas panik, jika sampai waktu yang disepakati, si anak belum juga pulang. Dan yang tidak pernah absen mengiringi hiruk pikuk itu adalah pro kontra apakah seragam sekolah itu harus dicoret atau tidak. Berbeda perspektif, tentu berbeda pendapat. Jika saya ditanya, bolehkah, haruskah atau bisakah; seorang anak SMU mencoret seragamnya? Maka saya akan menjawab WAJIB. 

Kebetulan ada beberapa orang yang saya temui dan kami sempat ngobrol tentang hal mencorat-coret seragam sekolah. Semuanya menolak tradisi ini. Alasan mereka sangat mulia, sebaiknya pakaian seragam sekolah jangan dicoret tapi disumbangkan kepada anak sekolah lain/adik-adik mereka yang tidak punya seragam. Itu saja, lalu topik ini jadi tidak menarik lagi untuk dibahas dan kami berpindah ke topik lain, seperti kenaikan gaji, menanam pohon, dan perjalanan dinas.

Saya – kadang melihat diri saya – adalah orang yang mengagumi sejarah dan punya gejala kejiwaan yang sangat tertarik pada hal-hal berbau masa lalu. Misalnya, apa yang saya peroleh saat ini, pengetahuan, pekerjaan, skill; tidak diperoleh dari mesin photo copy. Semuanya memiliki riwayat sendiri-sendiri, dan kadang saya suka menceritakannya kepada siapa saja tentang bagaimana saya mendapatkan atau terlibat di dalamnya. Baik itu cerita kocak, sedih, bikin emosi, maupun yang happy ending. Coret seragam sekolah adalah salah satu kenangan yang sulit saya lupakan, atau membiarkannya lewat begitu saja. Justru karena dengan mencoret seragam sekolah, ada hal tertentu yang saya peroleh guna menatap masa depan. Sehingga fenomena itu bagi saya bukan semata-mata soal harga menghargai dunia pendidikan, tapi itu soal momentum. Bahwa ada satu hari Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk merayakan kelulusan dengan cara yang kita pilih untuk kemudian jadi kenangan abadi sepanjang hidup. Dan itu terjadi hanya satu kali dalam satu hari.

Kini dua puluh tahun sudah peristiwa itu telah lewat lalu saya merenung kembali, dan bertanya pada diri saya, apa manfaat saya berada di Sabtu Yang Ceria itu? Pertama, saya menyadari bahwa hari itu adalah hari resmi terakhir saya bersama teman-teman yang selama tiga empat tahun, kami melalui suka duka masa SMA. Terbayang siapa yang paling pintar, siapa yang paling jago matematika, jago bahasa Inggris. Belum lagi yang sering datang terlambat, yang tidak tahu mengerjakan PR, dan suka “dinas luar”. Hari esoknya tidak akan sama lagi. Tidak semua dari kami akan kuliah, atau membujang. Ada yang langsung kawin, besoknya – kalau ini di sekolah lain. 

Teman-teman saya di SMA ternyata lulus SECABA Polisi. Kemudian mereka dikirim ke SPN Jayapura guna menjalani pendidikan. Fajar HB, Andy Ayomi, Rediyanto Moli, Rimbun P., Danang, Eko, Lintar, dan kawan-kawan kini adalah perwira polisi di Polres Biak Numfor berpangkat Aipda. Saya sendiri waktu itu sudah lulus seleksi otomatis di Fakultas Pertanian Uncen di Manokwari, dan kabarnya dalam beberapa tahun kemudian, nama saya masih ada dalam register Fakultas. Tapi karena “hasutan” Bapak Drs. Nico Buiney, guru kimia hebat – saya memilih studi ke Jayapura di kampus STTJ – sekarang USTJ. Maka untuk mengakhiri kebersamaan kami di hari yang khusus, perlu perayaan yang juga khusus, yaitu seperti dengan corat-coret seragam sekolah. Tulislah namamu di seragamku, coretlah sesukamu, singkatnya.

Kedua, setelah kelulusan ini dan kita berencana sekolah lagi ke pendidikan tinggi, kita memasuki dunia pendidikan yang sepenuhnya baru dan lebih dewasa. Suatu dunia pendidikan yang tidak mengenal seragam sekolah tiap hari. Kalau di SD, kita gunakan seragam putih merah; di SMP kita menggunakan putih biru, lalu di SMA putih abu-abu. Inilah intinya, kita berpisah dengan segala tetek bengek seragam. Sebab di dunia kuliah, kita akan masuk kelas tanpa seragam, kecuali jas almamater yang hanya dikenakan pada acara khusus kemahasiswaan seperti Musorma, Raker dan lain sebagainya. Karena tidak akan digunakan lagi, mari kita mencoret seragam kita. Sabar dulu mas, kalau ini alasannya, sering kali kita akan menemukan alasan yang berseberangan. 

Seperti sudah saya sampaikan lebih dulu, semua orang yang saya datangi menganjurkan, alangkah baiknya seragam itu disumbangkan kepada anak sekolah lain yang membutuhkan. Tentu ini sangat mulia, membantu sesama. Lalu dua puluh tahun kemudian anak kita akan bertanya apakah pernah bapaknya terlibat dalam aksi coret seragam sekolah. Sang ayah yang pernah mencoret seragam akan mempunyai cerita yang berbeda kepada anaknya. Ayah yang tidak mencoret seragam mungkin akan menggelengkan kepala tanda tidak pernah. Lalu sekilas kemudian, anaknya disuruh tidur siang lalu bermimpi dengan mimpinya sendiri. Karena sang ayah, di hari yang amat spesial dalam hidupnya waktu itu, justru pulang ke rumah, makan dan juga tidur siang. Sayang sekali.


Kala kami telah mencorat-coret seragam kami hingga puas, datang ide untuk menghabiskan sisa siang itu di pantai. Semua mata melihat ke saya, dan tujuannya adalah Bosnik, Biak Timur. Lalu mungkin, Chun a.k.a Daniel Tanuria, ST – pemilik Toko Artha Komputer di Biak, berhasil mengontak Noke Lewasal, kakak kompleks saya di Karang Mulia. Noke - anak RESTAB - datang dengan truk dan mengangkut kami semua, anak-anak kelas III IPA 2. Dari lokasi sekolah, kami menuju Bosnik untuk makan kelapa muda dan mandi-mandi, tepatnya ke rumah Tete/Kakek saya di Kampung Bindusi/Manduser. Kira-kira sebelum tikungan papan kuning, di lokasi yang sekarang menjadi pangkalan truk, Chun berbalik dan mengucapkan kalimat ini, kurang lebihnya, “Mulai besok, kau mau jadi apa, itu sepenuhnya urusanmu, tidak ada lagi guru yang akan memarahimu. Karena urusan masa depanmu adalah urusanmu sendiri. Tidak ada lagi orang yang akan mengajarimu, harus begini, harus begitu!” Kalimat ini saya anggap sebagai motivasi hebat yang pernah diucapkan oleh seorang siswa pencoret seragam sekolah. Saya berdiri di sampingnya, mendengar dengan sangat jelas, lalu mengangguk dalam hati. Ketika kami melewati jembatan Ruar, tampak teman-teman dari SMK 1 – SMEA Bosnik sudah menceburkan diri ke dalam kali, rupanya mereka memilih kali Ruar sebagai tempat penghabisan. Lalu kami melambaikan tangan saja dan melanjutkan perjalanan. 

Truk berhenti di depan rumah, lalu saya turun dan dibiarkan berjalan sendirian lebih dulu. Nenek – saya memanggilnya Mama - sedang mencuci pakaian di dekat sumur. Sambil berjalan ke arahnya, saya pura-pura batuk. Ketika Mama melihat saya dengan seragam yang sudah kotor, dia sontak melepaskan semua cuciannya dan berlari menuju saya, sesaat dia memanggil Bapa – kakek, red; yang masih di dalam rumah untuk keluar. Mama berteriak, “Bapa, mari lihat, ko punya anak lulus!”. Bapa keluar, berdiri sebentar di pintu depan dan tersenyum. Lalu keduanya berlari mendapati, lalu memeluk dan mencium saya. Semua teman yang hadir di situ, bersorak dan tepuk tangan. Saya anggap itu adalah kado kelulusan yang indah. Betapa bangganya kedua orang tua saya saat itu. Tidak ada kelapa yang lolos, semua diturunkan untuk kami. Makan sepuasnya lalu kami pergi mandi di pantai. Dari rumah, kami jalan kaki ke Pantai Segara Indah. Kami mandi, bermain banting-bantingan, lalu karena saking semangatnya, Chun memukul dagu saya, membuat gusi saya sobek. Tidak apa-apa, cuma luka kecil. Setiap kali saya mengenangnya, hati saya bercampur rasa; ada rasa bersyukur, kadang bersedih; apa lagi Bapa sudah meninggal pada 5 November 2008. Sementara mama, menghabiskan hari-harinya seorang diri, di rumah yang pernah menjadi saksi kedatangan kami, rombongan anak III IPA 2 yang telah mendengar pengumuman kelulusan.

Saksi bisu kami


Lalu apa selanjutnya? Minggu berikutnya, kami melakukan hal yang mulia tadi. Karena ternyata kami punya dua seragam putih abu-abu selama ini; satu seragam yang lain – yang tidak dicoret, kami sumbangkan ke Wamena, iya, seingat saya ke Wamena meski cuma kemejanya. Aksi ini mendapat pujian dari Kepala Sekolah, Drs. Soegiman dan diucapkan di depan barisan apel siswa kelas III. Dia bilang, kira-kira seperti ini, “Contohlah anak-anak IPA 2, mereka selain mencoret, juga menyumbangkan seragamnya ke pihak lain yang membutuhkan!”. Semoga seragam kami memang berguna bagi mereka yang membutuhkan.

Jadi – sudah di akhir – bagi saya, hal mencoret seragam sekolah adalah hal yang sebenarnya spesial. Diperlukan sekurangnya dua belas tahun untuk dilalui oleh seorang anak sekolah di Indonesia dengan memakai seragam tiap hari. Lalu datang hari terakhir dia mengakhiri semua itu. Mencoret seragam bagi saya bukan sesuatu perbuatan tercela. Yang salah di hari itu adalah jika kita merayakannya dengan miras atau narkoba. Untungnya kami tidak. 

Saya mencoret seragam sekolah sebagai sebuah penghormatan, juga ucapan perpisahan. Sekali saya melangkah maju, tak ada lagi seragam dalam hidup saya, sampai pada hari di mana saya menjadi pegawai negeri sipil pada tahun 2010. Seragam tercoreng itu sudah saya simpan di lemari. Anehnya, pernah benda itu ikut ke Jayapura, lalu saya bawa balik ke Biak setelah sekian tahun. Sesekali bila saya mengingat sahabat-sahabat saya yang terpencar sana sini di muka bumi ini, saya selalu mengingat seragam itu. Lalu sambil menatapnya, kenangan itu diputar ulang bagai menonton film. Saya senyum-senyum sendiri. Dan ibarat kaset usang, kadang-kadang ada bagian tertentu dari kisah itu yang menghilang perlahan-lahan. Ketika saya mengakhiri tulisan ini, samar-samar terdengar lagu dari Panbers yang berjudul Nostalgia Lama. Hahaha…. semoga Tuhan melindungi semua sahabatku di mana saja mereka berada. Salam paling hormat….